JAKARTA - Hari ini, 23 tahun yang lalu, 6 Oktober 1998, Majalah Tempo terbit kambali. Kehadiran Majalah Tempo dinantikan oleh segenap penikmatnya. Momentum kebangkitan itu dimanfaatkan empunya majalah untuk mengenalkan kembali laporan unggulannya.
Sebelumnya, Majalah Tempo dibredel dua kali oleh pemerintah Orde Baru (Orba). Keberaniannya mengungkap kebobrokan Orba jadi musababnya. Majalah Tempo diberedel 12 April 1982, kemudian kembali dicabut izinnya pada 21 Juni 1994.
Rezim Orde Baru (Orba) terkenal anti kritik. Perihal itu bahkan sudah jadi rahasia umum. Barang siapa yang melemparkan kritikan, maka akan menerima ganjarannya. Dari dicekal hingga penjara. Dalam industri media massa apalagi.
Orba mampu menancapkan kuasanya untuk dapat mengontrol isi media. Citra baik akan diamini. Namun, tidak demikian dengan citra buruk. Terutama menjelekkan Presiden Soeharto. Instrumen aturan pun disiapkan. Sistem kontrol media disiagakan. Tujuannya supaya stabilitas nasional tak terganggu.
Contoh paling nyata kuasa Orba adalah pada awal mula Soeharto mengambil alih pemerintahan. Empunya kuasa tancap gas memberedel banyak surat kabar. Pun induk organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang notabene menaungi insan media disetir untuk kepentingan penguasa.
Di atas kertas pemerintah Orba memberikan ruang untuk kritik sebebas-bebasnya, tapi bertanggung jawab. Narasi itu tampak bijak dan enak didengar. Masalahnya cuma satu: tak sesuai realita di lapangan. Media yang mengkritik akan segera ditindak. Sebab, tiada pisau ukur yang pasti dalam mewartakan berita supaya tak menyinggung.
“Penguasaan Soeharto dan keluarga Cendana di bidang media cetak juga dilakukan secara tidak langsung. Kroni Soeharto, seperti Bob Hasan yang kerap dijuluki Raja Kayu, dalam kapasitasnya pemilik PT Aspex Papers menjadi pemegang monopoli suplai kertas yang merupakan bahan baku utama bagi penerbitan, termasuk penerbitan pers.”
“Hidup matinya media cetak bahkan tergantung dari harga kertas di mana posisi sebagai distributor sangatlah vital. Lewat ‘politik kertas’ inilah, Penguasa Orde Baru, khususnya kroni dan keluarga Cendana memiliki ‘kuasa’ yang efektif bagi banyak penerbitan pers,” ungkap Rully Chairul Azwar dalam buku Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009).
Majalah Tempo adalah salah satu media massa yang pernah kena beredel pemerintah Orba. Majalah Tempo dilarang terbit sementara pada 12 April 1982. Penyebabnya karena Majalah Tempo berani mewartakan pemberitaan sensitif – jika tak mau dibilang kebobrokan pemerintah.
Petinggi Tempo, Goenawan Mohamad pasang badan. Ia berani minta maaf. Orba pun mencabut pemberedelan Majalah Tempo pada 7 Juni 1982. Namun, 12 tahun kemudian, Majalah Tempo kembali berulah. Majalah Tempo mewartakan adanya indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur.
Pemerintah Orba Berang. Tempo diberedel untuk kali kedua pada 21 Juni 1994. Empunya kuasa takkan memberikan ruang kembali Tempo terbit. Nyatanya, takdir berkata lain. Soeharto dan Orde Baru runtuh duluan. Alhasil, pada pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie, Majalah Tempo terbit kembali pada 6 Oktober 1998.
“Setelah berakhirnya rezim Orde Baru lewat reformasi 21 Mei 1998 dengan pengunduran diri Presiden Suharto, maka pada tanggal 6 Oktober 1998 Majalah Tempo diterbitkan kembali dengan penerbitnya PT. Arsa Raya Perdana dengan editorialnya: Kami makin sadar ada sesuatu yang lebih berharga ketimbang nafkah dan kepuasan profesional, yaitu kemerdekaan dan harga diri," ungkap Bakdi Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat (2019).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terkait pemberitaan dugaan kasus korupsi impor 39 kapal perang bekas Jerman Timur yang diprakarsai Menteri Riset dan Teknologi saat itu, B.J. Habibie, membuat Majalah Tempo dibredel oleh Pemerintah Orde Baru 27 tahun silam. Hal ini dikarenakan Pemerintah Orde Baru beralasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur dapat membahayakan stabilitas nasional.
Tidak hanya Majalah Tempo, saat itu dua media lain yang dibredel Pemerintah Orba adalah Editor dan tabloid Detik. Namun, yang membedakan, Majalah Tempo melawan keputusan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Penetapan Pembredelan
Setelah memuat kabar tentang kasus korupsi pembelian kapal perang, Pembredelan ini diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko.
Menurut Goenawan Mohammad, salah satu pendiri Tempo, saat pembredelan tersebut terjadi, sudah tidak ada lagi harapan Tempo untuk dapat terbit kembali. Hal ini dikarenakan Rezim Soeharto meminta berbagai persyaratan. “Pembreidelan di awal 1990-an berlaku buat seterusnya; suratkabar atau majalah hanya diizinkan terbit kembali jika memenuhi sejumlah syarat kepatuhan — dan harus dengan nama baru,” kenang pria yang akrab disapa GM tersebut.
Perlawanan Terhadap Pemberangusan.
Alih-alih menjadi titik nadir sejarah pers Indonesia, momentum ini menjadi tonggak awal perlawanan memperjuangkan kebebasan pers. Pada 21 Juni 1994 menjadi momentum bagi kebebasan pers di Indonesia, untuk pertama kalinya dalam sejarah, wartawan melawan setelah sering terjadi pembredelan yang dilakukan pemerintah.
Mantan Pemimpin Redaksi Tempo kala itu, Bambang Harymurti atau yang akrab disapa BHM mengatakan, “Antara sedih dan marah.” Peristiwa yang seakan terekam tak pernah mati di dalam ingatannya, BHM menceritakan saat itu suasana kantor riuh, ramai. Goenawan Mohamad menyampaikan pidatonya pascapembredelan. Ia masih teringat dengan kata-kata Goenawan Mohamad. “Kita boleh kalah, tapi tidak boleh takluk.”
GM juga menuliskan ketika ia bertemu dengan Sarwono Kusumaatmadja, (Menteri Negara Lingkungan Hidup), salah satu menteri yang menunjukkan simpati kepada majalah Tempo sepekan setelah ultimatum yang dilayangkan oleh Hashim, Sarwono bertanya mengapa GM melawan keras tindakan pembredelan tersebut, “It is about self-respect,” kata GM dalam memoar yang pernah diupload di akun Facebooknya.
Perlawanan ini tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup internal Tempo saja, sehari setelah pencabutan SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Tempo, percikan api mulai memantik amarah para wartawan muda hingga aktivis dan mahasiswa.
Bahkan, di Jakarta, ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Dalam aksinya mereka mendesak Harmoko untuk membatalkan pencabutan SIUPP Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti permintaan demonstran.
Sedangkan masa aksi di Yogyakarta melakukan aksi dengan membungkus kantor biro Tempo di sana dengan kertas putih. Kemudian pada 27 Juni 1994, saat polisi membubarkan paksa demonstran terjadi kerusuhan yang menyebabkan puluhan orang terluka dalam insiden tersebut.
Tidak bisa dipungkiri lagi, era 1990-an banyak terjadi kemelut di dunia politik Indonesia. Beragam aksi massa yang protes terhadap kebijakan Soeharto sering membanjiri jalan-jalan ibu kota hingga gedung parlemen. Tak jarang, masa aksi yang terluka akibat bentrok dengan aparat. Bahkan, tidak sedikit pula masa aksi yang gugur ketika aksi berlangsung.
Pembredelan Majalah Tempo juga menjadi salah satu hal yang mencederai perpolitikan di Indonesia. Aksi-aksi yang sudah dijelaskan sebelumnya menjadi tanda pentingnya pers yang berfungsi sebagai watchdog demokrasi dan hak asasi manusia.
Tempo yang tidak berhenti melawan juga membawa kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam perlawanan tersebut, tanpa diduga, hakim Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50.
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1966 dan juga salah satu evaluator sikap pemberitaan Tempo, (alm) Rahman Tolleng, menilai perlawanan dan penolakan pembredelan Majalah Tempo menunjukkan sikap kritisnya sebagai media. “Masih bisa dianggap bahwa dia bisa bertahan sebagai pers yang kritis,” kata Rahman Tolleng, 27 tahun lalu.
Baca: 50 Tahun Tempo Satu Kisah di Belakang layar Pembredelan Majalah Tempo
Masuk 21 Juni 1994, Menteri Harmoko sebagai Ketua Dewan Pers memanggil anggota pelaksana harian. Undangan itu disampaikan lewat telepon dengan jadwal rapat dimulai pukul 09.00 WIB di Gedung Dewan Pers di Kebonsirih, Jakarta Pusat.
Jakob Oetama, pemimpin harian Kompas, datang terlambat dalam rapat. Selain Harmoko serta Dirjen Pers dan Grafika Subrata, hadir dalam ruangan Sjamsul Basri dari Suara Karya dan Handjojo Nitimihardjo dari kantor berita Antara.
Jakob Oetama dalam kesaksian di pengadilan kasus Tempo, menyatakan pihaknya tidak merekomendasikan pemberedelan. Dari empat rekomendasi, satu di antaranya adalah mengganti Fikri Jufri sebagai pemimpin redaksi.
Mengalir begitu saja, saran Dewan Pers tampaknya tidak cukup sakti menahan keputusan beredel yang sudah diambil sebelumnya. Sebab, sekitar pukul 13.00 WIB pada 21 Juni 1994 itu, Handjojo Nitimihardjo dipanggil Dirjen PPG Subrata dan diberi tahu bahwa pemerintah hari itu menutup tiga media. Sesuatu yang melenceng dari saran Dewan Pers.
Sore harinya sekitar pukul 16.00 WIB, Dirjen PPG Subrata mengumumkan pemberedelan tersebut.
Pendiri Tempo, Harjoko Trisnadi, mengatakan, media massa era Orde Baru memang wajib mengantongi surat izin terbit dalam bentuk Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Di dalamnya wajib tertera nama pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan pemimpin perusahaan dan harus disahkan di Departemen Penerangan.
Sebab itu, konsekuensinya media massa dapat dicabut kapan saja. Seperti yang pernah dialami Tempo pada pemebredelan pertama 1982, lantaran dianggap terlalu keras mengkritik Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar, pada Pemilu 1982. Saat itu, izin terbit Tempo dicabut selama tiga bulan.
"Tapi yang kedua kalinya (21 Juni 1994) final. Enggak bisa terbit lagi," ujar Harjoko.
Dengan selembar surat beredel, kapal bernama Tempo itu langsung karam. Walau kemudian terbukti tidak untuk selama-lamanya.
Isi surat beredel dari Departemen Penerangan tanggal 21 Juni 1994 sendiri tidak menunjukkan jelas alasan pemberangusan. Hanya disebut, 'Isi beberapa penerbitan Tempo tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab'.
Juga disebutkan, penertiban terhadap Tempo diambil untuk membina dan mengembangkan pers nasional sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Termasuk demi terbinanya stabilitas nasional di Republik Indonesia.
Tempo yang menolak keputusan pemberedelan itu lantas menggugat pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tanpa diduga, hakim Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo pada 3 Mei 1995 dan akhirnya dapat kembali terbit.
Namun Majalah Tempo baru bisa terbit kembali pada 6 Oktober 1998, setelah empat tahun mati suri. Edisi kelahiran kembali ini memuat laporan utama sekitar kasus pemerkosaan yang menimpa etnis Cina selama masa-masa kerusuhan bulan Mei 1998.
Dilansir dari "Majalah Tempo: Tidak Sekedar Kembali", Edisi: 7 Maret 2011, kala itu ada seorang tokoh yang dekat dengan kekuasaan menawarkan kesempatan agar Tempo bisa terbit lag setelah diberedeli.
Lima hari setelah pemberedelan, dia mengundang Pemimpin Umum Tempo Eric Samola dan beberapa pimpinan lain untuk bertemu di sebuah hotel. Dia menawarkan, Tempo bisa terbit lagi tapi dialah yang menguasai hak mengangkat dan memberhentikan redaksi.
Tawaran itu ditolak dan Tempo memilih melawan pemberedelan lewat pengadilan dan aksi-aksi demonstrasi. Sebagian yang lain menerbitkan publikasi bawah tanah, hingga internet. Namun, zaman belum berpihak. Tempo terus terbentur tembok kekuasaan yang sedang di puncak kegarangannya.
Hingga akhirnya, berembus angin perubahan pada 1998, bersama makzulnya Presiden Soeharto. Penguasa baru tidak lagi mengontrol pers, dan peluang Tempo terbit kembali terbuka lebar.
Dengan sekelumit perdebatan, diputuslah kelahiran kembali Tempo. Urusan selanjutnya adalah modal yang belum ada. Diskusi kembali terjadi dan diputuskan modal awal pinjam dari PT Grafiti Pers.
Jumlah awak yang minim tak membuat gentar. Semangat malah kian membara.
Kebebasan pers pun mulai dirasakan setelah kejatuhan Soeharto. Aturan izin terbit sudah dihapus, bahkan Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
%PDF-1.7 4 0 obj (Identity) endobj 5 0 obj (Adobe) endobj 8 0 obj << /Filter /FlateDecode /Length 53900 /Length1 113668 /Type /Stream >> stream xœì½ |TÕõ~Î}ofÞ,Él™ÌL–Ù’É$™ì 32 IÈFˆ$ �€Aî\"ZqCkmÙÜZÆD1¸Ú¢Uk˯j+P•ª…Z¥n0ÿsßL[¬üÿŸ‚ÿœ™û½ë»ï¾ûÎ9÷œûÞ$€ `%¡«ºµ~ÒÊ?¿ðú§ RÓªkj!C1ðÞ©•cRË”Ööv;àÃËôuMmuå«ë¯ °\ (™Òš_tåÇ;þ €ŸÐñÓ«'ÏøìÇo’ ´OœwÑÜ®éoþà¶=Ԧ鼋—»Ø›ÒK ?Júkg×ù9çý‘Î}‡@™yþÜž.°�šÆ÷0õg8ÿÂË:;�?à‘{ú.œÑ¥“£ù ƒÆsQÓÂsçÔuÉO¨ï+©}éB*0Öþ�òÔ?¤/¼hù¥WmLØÀf ˜³/X¶DµEµpIï…KÏ›kïý p>�_3—vÅÿÕtÿ;ªw]´`ùܤûn=ðIš/¨[2÷¢Ïþzãq:~?Mê®®¥=Ë#Åp)�÷FÞ¾kÙ‚®{þïÀ÷K ŒWÉs¯PýxÍy¯¯›£÷±”,§M~ŽÇ¯jÿ/pâÞãiÏ‘:)«Q¢ão‚=¨Í=qï‰{µçÈ=� q�ܦ VÐ}½:Ò ù0�:™BçeT+ëq=(@R(Ä_óc¢1+€K™ E&*˜B¡ñ °Õ!šžÁ¾›ê›§@\‘/¢c�:ÙàFù¼Š'ø•‚ ÖC/QÂ×ëƒâ‘yÕ-�¡Ü…ÿÜN,¦óÆHñ°À(ýÏ“0u(ý´ ¯ó‚x?hF¶em�£2@†\7ªÅ}�ÅÓB”Êõ÷@žøqú(}kH:Xæ¿I?…¼.c¤¡ô? � ßPþcÐ�l‹kÁ#^ÎØqö8ä´2åú��FÇ(¾v (\EÁCÁKAGÁE¡–Âl ! %¼;9:ØNx-òé`;á&¹Í`»L ×PÈ¢`¦ ¢`Œ�gR¬]�ݹÚ(¤PpPˆ§�L¡ˆB%…| ¾Sm'_ûÍÑùøw„iP‹Å‘/`”Α™±†AäÃhüŸ_gñA¸‚}‹à¿ˆH&sÿ¥Fi”Fi”Fi”Fi”N?‰kÁ>”¾¦Ï¸¡üCd;_óóTת8 ÓùÂ?€é”o“ÛB“pœEù*/çƒF鿘~ÚÂãû^>Ù9,‡u:O;·x²ÚüÐsËàÌÓ×_¹¼Q4žœÛz€9”\Ð2ÉNÚAÂaÊ’Q?¢+NBÑ]KN>'œ>â§?Y¹Ý~ ËCD¥Qú j¨‘ü’,WWÕù]�^3¥¾¾M„äž3YŒ Á¤8ŸH�@9jÐDŽƒ´„ZÐE¾ ÄÆA
Femisida menjadi puncak piramida kekerasan terhadap perempuan.
Angka kasus femisida di Indonesia terbilang tinggi.
Budaya patriarki memiliki andil besar terjadinya femisida.